Sabtu, 19 November 2016

Manusia dan Potensi Pendidikan

MANUSIA DAN POTENSI PENDIDIKAN
(KAJIAN ONTOLOGI)
                                          Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Muthoin, M.Ag
Kelas : M Reguler Sore
logo stain.png
Disusun oleh :
Af’idatus Sholiha         2021214461
Kikki Faradila Putri      2021214470
M.Yusuf Azhari            2021214486

JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016
 




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi akal yang berfungsi sebagai alat untuk berfikir. Dengan akal ini manusia bisa mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ilmu pengetahuan yang didapat manusia tidaklah didapat begitu mudah dan cepat melainkan harus melalui berbagai proses yang harus dilalui. Berbagi proses dapat dilalui baik disengaja seperti pendidikan maupun tidak disengaja seperti pergaulan.
Semua proses yang dilalui manusia tidak akan menimbulkan pengaruh jika tidak adanya potensi dalam diri manusia, makanya Tuhan telah memberikan berbagai potensi dalam diri manusia baik jasmani maupun rohani. Sehingga manusia dapat menjalankan perannya sebagai makhluk yang berakal.
Agar kita dapat mengoptimalkan kemampuan manusia dalam memperoleh ilmu, dalam hal ini kita perlu memahami mengenai hakikat manusia, segala potensi yang ada dalam diri manusia, bagaimana memanfaatkan potensi tersebut, dan bagaimana proses perkembangan manusia dalam pendidikan. sehingga diharapkan dengan ini dapat tercapainya tujuan pendidikan.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa hakikat manusia?
2.    Apa saja potensi yang dimiliki manusia?
3.    Bagaimana pandangan berbagai aliran mengenai proses kependidikan yang dialami manusia?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hakikat Manusia
Pemikiran tentang hakikat manusia, sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini belum pernah berakhir dan tak akan pernah berakhir. Memikirkan dan membicarakan tentang hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tidak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan mendasar mengenai manusia, yaitu apa, dari mana, dan kemana manusia itu.
Pembicaraan mengenai apa manusia itu melahirkan adanya empat aliran, yaitu:
1.    Aliran Serba Zat
Aliran ini dapat disebut juga aliran materialisme. Menurut aliran ini bahwa yang sungguh-sungguh ada itu adalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia itu adalah unsur dari alam. Oleh sebab itu hakikat manusia adalah zat atau materi ( Zuhairini, dkk., 1995:71). Karena materi berada di dunia, maka pandangan materialisme cenderung identik dengan sifat duniawi tidak percaya pada sifat rohani.
2.    Aliran Serba Ruh
Aliran ini disebut juga dengan aliran idealisme. Menurut aliran ini bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah ruh. Juga hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat itu adalah manifestasi dari ruh di atas dunia ini. Aliran ini menganggap bahwa ruh itu adalah hakikat manusia, sedang badan hanyalah bayangan saja. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tidak dapat disentuh dan dilihat oleh panca indra, sedangkan materi adalah penjelmaan ruh.


3.    Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba menggabungkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap manusia itu pada hakikatnya terdiri dari substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung pada yang lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang bersifat kausal, sebab akibat. Artinya antara keduannya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akan mempengaruhi di pihak yang lain. Sebagai contoh orang yang cacat jasmaninya akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya. Sebaliknya, orang yang jiwanya cacat atau kacau, akan berpengaruh pada fisiknya.
4.    Aliran Eksistensialisme
Pembicaraan tentang hakikat manusia ternyata terus berkembang dan tak kunjung berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas, baik dari aliran serba zat, serba ruh maupun aliran dualisme. Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakikat manusia mana yang merupakan eksistensi atau wujud sesungguhnya dari manusia itu. Mereka yang memikirkan manusia dari segi eksistensinya atau wujud manusia itu sesungguhnya, disebut dengan aliran eksistensialisme. [1]

B.  Potensi Manusia Yang Dimiliki Manusia
Manusia adalah  makhluk Allah. Ia dan alam semesta bukan terjadi sendiriya, tetapi dijadikan oleh Allah. Firman Allah yang artinya “Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (kembali di akhirat)”. (Q.S. 30 Ar-Rum 40).
Prof. Dr. Omar Muhammad al Toumi al Syaibany memperinci pandangan islam terhadap manusia itu atas delapan prinsip.
1)   Kepercayaan bahwa makhluk yang termulia di dalam jagad raya ini.
2)   Kepercayaan akan kemuliaan manusia.
3)   Kepercayaan bahwa manusia itu adalah hewan yang berpikir.
4)   Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai tiga dimensi: badan, akal dan ruh.
5)   Kepercayaan bahwa manusia dalam pertumbuhannya terpengaruh oleh faktor-faktor warisan (pembawaan) dan alam lingkungan.
6)   Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai motivasi dan kebutuhan.
7)   Kepercayaan bahwa ada perbedaan perseorangan diantara manusia.
8)   Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai keluasan sifat dan selalu berubah.
Prinsip ini digali dari al-quran dengan memahaminya dari berbagai aspek penafsiran dan kenyataan yang dapat di hayati.
Dalam hubungannya dengan pendidikan islam akan kita lihat dari tiga titik, yaitu;
a.    Manusia sebagai makhluk yang mulia.
b.    Sebagai khalifah Allah di bumi.
c.    Sebagai makhluk paedagogik.
1.    Manusia Sebagai Makhluk Yang Mulia
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai penerima dan pelaksana ajaran. Oleh karena itu ia di tempatkan pada kedudukan yang mulia. Sesuai dengan kedudukannya yang mulia itu, Allah menciptakan manusia itu dalam bentuk fisik yang bagus dan seimbang.
Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah memperlengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkannya menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu adalah karena : 1) Akal dan perasaan, 2) Ilmu pengetahuan, dan 3) Kebudayaan, yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada pencipta, Allah SWT.
1.    Akal dan perasaan
Setiap orang menyadari bahwa ia mempunyai akal dan perasaan. Akal pusatnya di otak, digunakan untuk berpikir. Perasaan pusatnya di hati, digunakan untuk merasa dan dalam tingkat paling tinggi ia melahirkan “kata hati”. Dalam kenyataan, keduanya sukar dipisahkan. Orang merasa dan sekaligus berpikir, hasil rumusan pikiran dapat dirasakan dan diyakini kebenarannya. Hasil kerja pikiran dapat memberi rasa kenikmatan. Perasaan kecewa dan sedih dapat mempengaruhi kegiatan pikiran. Demikian terjalinnya pemakaian akal (pikiran) dan perasaan ini,sehingga kadang-kadang kurang jelas mana yang berfunsi diantara keduanya, apakah hati ataukah otak (akal).
Walaupun umumnya rasa itu berasal dari gejala yang merangsang  alat indra, namun ia selalu melalui pengolahan otak (pikiran) untuk selanjutnya diteruskan ke hati. Penggunaan akal dan perasaan dapat menentukan kedudukan seseorang dalam lingkungan sosialnya, dapat membuat dia senang dan marah. Kemampuan berpikir dan merasa ini merupakan nikmat anugerah Tuhan yang paling besar, dan ini pulalah yang membuat manusia itu istimewa dan mulia di bandingkan dengan makhluk lainnya. Allah menyuruh orang menggunakan kemampuan berpikir ini sebaik-baiknya, baik berpikir tentang diri manusia itu sendiri atau tentang alam semesta ini.
Karena akal itu merupakan alat untuk menuntut ilmu, dan ilmu merupakan alat untuk mempertahankan kesulitan manusia, maka islam memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu, bukan saja ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya.

2.    Ilmu pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu yang diketahui oleh manusia melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui intuisi. Ilmu pengetahuan merupakan hasil pengolahan akal (berpikir) dan perasaan tentang sesuatu yang di ketahui itu.
Sebagai makhluk berakal, manusia mengamati sesuatu. Hasil pengamatan itu diolah sehingga menjadi ilmu pengetahuan. Umat islam, untuk mempertahankan keilmuannya, diperintahkan untuk menuntut ilmu dalam waktu yang tidak terbatas selama hayat dikandung badan. Prinsip belajar selama hidup ini merupakan ajaran islam yang penting.
Mereka yang berilmu dan tidak berilmu itu berbeda dalam pandangan islam. Faktor terbesar yang membuat makhluk manusia itu mulia adalah karena ia berilmu. Ia dapat hidup senang dan tenteram karena memiliki ilmu dan menggunakan ilmunya. Ia dapat menguasai alam ini dengan ilmunya.
3.    Kebudayaan
Akibat dari manusia menggunakan akal pikirannya, perasaannya dan ilmu pengetahuannya, tumbuhlah kebudayaan, baik berbentuk sikap, tingkah laku, cara hidup ataupun berupa benda, irama, bentuk dan sebagainya. Semua yang terkumpul dalam otak manusia yang berbentuk ilmu pengetahuan adalah kebudayaan. Disamping untuk kesejahteraan dan ketenangan, kebudayaan juga dapat berbahaya dalam kehidupan. Budaya yang menurut pikiran dan perasaan semata, tanpa pertimbangan norma etika dan agama, akan menimbulkan bahaya, baik bahaya itu pada pelakunya sendiri, maupun pada orang lain atau kelompok lain. Karena itu kebudayaan harus diikat dengan norma etika dan agama.
Islam memandang manusia sebagai makhluk pendukung dan penciptta kebudayaan. Dengan akal, ilmu dan perasaan, ia membentuk kebudayaan, sekaligus mewariskan kebudayaan itu kepada anak dan keturunannya, kepada orang atau kelompok lain yang dapat mendukungnya. Kesanggupan mewariskan dan menerima warisan ini sendiripun merupakan anugerah Allah yang menjadikan makhluk manusia itu mulia.
2.    Manusia Sebagai Khalifah di Bumi
Pandangan yang menganggap bahwa manusia itu sebagai khalifah di bumi ini, bersumber pada firman Allah yang artinya “dan ingatlah, ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat ‘sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”.
Allah memberitahukan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan manusia yang diserahi tugas khalifah dibumi. Setelah bumi ini diciptakan, Allah memandang perlu bumi itu didiami, diurus, diolah. Untuk itu ia menciptakan manusia yang diserahi tugas dan jabatan khalifah. Untuk itu Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang lengkap dan utuh dengan sarana yang lengkap.
Islam melihat manusia secara keseluruhan tidak memisahkannya pada bagian-bagian. Perintah menjalankan syari’at dan bertanggung jawab ditunjukan kepada manusia yang utuh dan lengkap itu, bukan pada jiwanya saja, atau pada raganya saja tetapi juga sebagai anggota masyarakat untuk hidup berkelompok-kelompok untuk saling berkenalan dan hidup bersama.
Lebih jelas lagi Allah memerintahkan supaya manusia itu berusaha mencari bekal untuk hidup di akhirat (beribadat), tanpa melupakan kebutuhan hidup di dunia ini dan dilarang berbuat kerusakan.
3.    Manusia Sebagai Makhluk Paedagogik
Makhluk paedagogik ialah makluk makhluk yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Makhluk itu adalah manusia. Dialah yang memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah dibumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia.
Allah memang telah menciptakan semua makhluk-Nya ini berdasarkan fitrahnya. Tetapi fitrah Allah untuk manusia yang disini diterjemahkan dengan potensi dapat dididik dan mendidik, memiliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga kemampuannya dapat melampaui jauh dari kemampuan fisiknya yang tidak berkembang.
Meskipun demikian, kalau potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan.
Pendidikan islam berarti pembentukan pribadi muslim. Isi pribadi muslim itu adalah pengalaman sepenuhnya ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan.
Dalam ajaran islam bertakwa itu wajib, tetapi tidak mungkin bertakwa itu tercapai kecuali dengan pendidikan, maka pendidikan itu juga wajib. Dan manusia adalah makhluk paedagogik, maka kewajiban menyelenggarakan pendidikan adalah kewajiban yang berarti pula bahwa perintah bertakwa adalah sekaligus perintah menyelenggarakan pendidikan yang menuju kepada pembinaan manusia bertakwa.[2]

C.  Berbagai Pandangan tentang Proses Pendidikan
Berbagai pandangan tentang proses pendidikan antara lain sebagai berikut :
1.    Hukum Kesatuan Organis
Mengingat proses kependidikan adalah suatu proses pengembangan kemampuan dasar atau bakat manusia maka dengan sendirinya proses  tersebut akan berjalan sesuai dengan hukum-hukum perkembangan, yaitu hukum kesatuan organis, yang menyatakan bahwa perkembangan manusia berjalan secara menyeluruh dalam seluruh organ-organnya, baik organ tubuhnya maupun organ rohaninya. Fungsi kejiwaan manusia tidak berkembang terlepas antara satu fungsi dengan yang lain, melainkan saling mempengaruhi antara fungsi yang satu dengan yang lainnya.
2.    Hukum Tempo
Hukum tempo menyatakan bahwa perkembangan manusia itu menurut tempo (waktu) yang satu sama lain berbeda, pada saat tertentu mengalami perkembangan yang cepat, tetapi pada saat lainnya mengalami perkembangan yang lambat. Seperti halnya pada usia muda manusia sangat terampil dan cerdas dalam belajar dan kreatif dalam ide-ide baru, tetapi pada usia dewasa mengalami kemunduran. Sedangkan bagi masing-masing individu anak dapat pul a berbeda arah dan kecepatan perkembangannya. Sebagai contoh seorang anak A lebih cepat perkembangan daya fantasinya dari anak-anak lain pada saat-saat tertentu. Akan tetapi dalam usia tertentu daya anak tersebut menurun, sedang anak lain bahkan baru berkembang.
3.    Aliran Nativisme
Aliran ini menganggap faktor pembawaan atau bakat serta kemampuan dasar sebagai penentu dari proses perkembangan manusia. Sehingga proses perkembangan hidup manusia ditentukan oleh faktor dasar ini. Akibatnya ialah bahwa faktor-faktor eksternal seperti pendidikan atau lingkungan sekitar serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan hidup manusia.
4.    Aliran Empirisme
Aliran ini menganggap faktor lingkungan mempunyai dampak besar sekali bagi pembentukan kepribadian manusia, sehingga faktor ini dinyatakan sebagai faktor yang paling dominan dampaknya terhadap proses perkembangan manusia.
5.    Hukum Korvergensi
Hukum konvergensi adalah suatu pandangan bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat atau kemampuan dasar dan faktor-faktor laingkungan sekitar atau faktor yang disengaja.  Proses perkembangan manusia itu selalu ditentukan oleh perpaduan pengaruh dari faktor pembawaan (kemampuan dasar) dan faktor lingkungan sekitar, baik disengaja (seperti pendidikan) maupun yang tidak disengaja, seperti pergaulan dan lingkungan alam maka kedua faktor ini selalu berproses secara interaksi dalam pembentukan watak dan kepribadian manusia.
6.    Aliran Pragmatisme
Pandangan pragmatisme dalam pendidikan, seperti yang dikemukakan oleh beberapa pendidik di Amerika Serikat, misalnya John Dewey, yang menyatakan bahwa: “education is the prosess without end” (Pendidikan adalah proses yang tiada akhir) dan berbagai proses itu berlangsung dalam berbagai tujuan. Proses demikian menurut pandangan ini, terus berlangsung sepanjang hayat. Hanya nilai-nilai bersifat relatif yang dijadikan ukuran dalam aliran ini yaitu nilai-nilai baik-buruk, berguna dan tak berguna dikaitkan dengan pertimbangan kultural masyarakat yang sudahbarang tentu bergantung pada tempat dan waktu.
7.    Pandangan Islam
Islam penuh dengan ajaran etis dan normatif yang bertolak dari asas hidup dalam perikeseimbangan sepenuhnya menghargai potensi rohaniyah dan jasmaniyah manusia bagi kehidupan di alam nyata ini. Manusia sebagai makhluk pribadi yang selalu mempererat hubungan dengan Tuhan sekaligus menjalin hubungan dengan masyarakatnya. Pandangan islam yang demikian lebih bercorak konvergensi daripada empiris dan nativis karena mengakui adanya pengaruh internal berupa keimanan dalam pribadi dan pengaruh eksternal yang berupa kegiatan sosial dalam masyarakat.[3]

BAB III
PENUTUP

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai banyak peran didunia ini, bahkan kehidupan ini didominasi oleh manusia. Sebenarnya siapakah manusia ini? Pemikiran tentang hakikat manusia ada yang mengatakan manusia adalah zat, aliran serba ruh mengatakan hakikat manusia adalah ruh. Aliran dualisme mengatakan bahwa manusia adalah gabungan antara ruh dan zat.
Sebagai makhluk yang paling mulia manusia mempunyai berbagai potensi yaitu
a)      Manusia sebagai makhluk yang mulia
b)      Sebagai khalifah Allah di bumi, dan
c)      Sebagai makhluk paedagogik.
Potensi-potensi tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya. Ada beberapa usaha yang perlu dilakukan dalam rangka peningkatan kompetensi yang dimiliki manusia, khususnya di dunia pendidikan. Untuk mencapai titik optimal perkembangan dan pertumbuhan, manusia harus menempuh proses kependidikan yang berlangsung secara progesif di atas kemampuan dasar masing-masing. Proses itu diperlancar dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik disengaja seperti pendidikan maupun yang tidak disengaja seperti alam sekitar atau pergaulan sosialnya.








DAFTAR PUSTAKA
                                                                                                                                
Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara
Khobir, Abdul. 2011.  Filsafat Pendidikan Islam ( Landasan Teoritis dan Prakti ). Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Daradjat, Zakiyah. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara


[1] Abdul Khobir,  Filsafat Pendidikan Islam ( Landasan Teoritis dan Praktis ), (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011),  Cet. Ke-3, Hlm. 81-83. 
[2] Zakiyah Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : PT Bumi Aksara,2014), Cet.Ke-11, Hlm.1-18
[3] Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam.. (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2009), Ed.Revisi. Cet.Ke-4, Hlm.57-62